Turis Sehari di Bukittinggi

Jadi turis itu sebenarnya nggak susah. Bahkan di tanah kelahiran sendiri juga bisa jadi turis. Itu yang saya lakukan beberapa waktu silam, ketika mudik dalam rangka mengurus ini dan itu perihal masa depan. Ah, tenang saja, bukan soal kawin kok.

Namanya Bukittinggi, semuanya bisa berlangsung dengan mudah. Untuk sebuah surat yang di RSUD Kota Bekasi saya harus tunggu sana dan sini, di Bukittinggi semuanya lancar seperti jalan tol jam 3 pagi. Dengan kenyataan itu plus kebetulan memang jadwal orangtua saya mengajar penuh, ya sudah, saya dilepas sendirian untuk mengurus pembaharuan SIM C dan ganti kartu NPWP. Dan namanya Bukittinggi, semuanya bisa jadi dengan cepat. Saya lalu beranjak pada tujuan terakhir, Hotel Rocky, untuk city check in penerbangan saya kembali ke realita keesokan harinya.

Jam setengah 11, urusan sudah kelar. Enaknya kemana, nih?

Saya lalu melihat sebuah nama “BENTENG” dan tercetus ide untuk berkunjung ke tempat yang disebut Benteng itu. Yup, tidak jauh dari tempat saya city check in, hanya belok kiri, lalu pada saat ada turunan, ambil kanan. Saya lantas segera sampai di tempat yang bernama “Fort De Kock”. Eh, nggak langsung sampai sih. Berhubung saya mengikuti jalan turun dan malah akhirnya sampai di jalan menuju Ngarai sambil menyaksikan Fort De Kock itu berdiri megah di sisi kanan. Untung saja ini Bukittinggi, jadi namanya kebablasan itu nggak bermakna banyak. Silakan bayangkan saja rasanya kebablasan exit tol, beda banget rasanya.

IMG_4058

Meski saya lahir dan besar di Bukittinggi, mungkin intensitas saya hadir di tempat ini hanya sebanyak jari tangan kanan–sobat para jomblo. Rasanya terakhir ke tempat wisata ini pas TK atau SD awal. Agak miris, memang. Saya ngasal parkir dan bergegas masuk dengan membayar 8000 rupiah.

Hari Selasa, pagi pula, jelas saja tempat ini sepi. Apalagi itu habis long weekend. Sisa-sisa pengunjungpun nggak ada sebenarnya. Jadi ini momen yang pas untuk menikmati hidup. Saya lantas berjalan nyaris sendirian di area Fort De Kock ini. Hanya ada 1 orang lelaki duduk di pondokan. Menurut dugaan saya, dia jomblo.

IMG_4048

Saya sendiri nggak ngerti bagian mana yang menarik dari bangunan Fort De Kock ini, apalagi setelah adanya kanopi plastik yang mengitarinya. Saya lebih menikmati meriam-meriam bellina yang asli, yang mengitari benteng ini. Ya kali jaman Belanda ada kanopi plastik -___-

PicMonkey Collage1

Karena area yang (menurut saya) begitu-begitu saja, saya lalu melirik ke sebuah jembatan. Aha! Ini dia! Limpapeh! Sebuah jembatan yang menyambungkan dua sisi bukit di Bukittinggi. Iya, jadinya Fort De Kock dan Kebun Binatang Kinantan itu ada di dua bukit yang berhadapan, dan disambungkan perasaannya dengan jembatan Limpapeh ini. Persis di bawahnya, ada sebuah tempat terkenal bernama Kampung Cina. Tentu saja, banyak Cina tinggal di sini, sama halnya dengan banyak orang Batak tinggal di Koto Dalam.

clip_image002[2]

Rasa-rasanya, baru sekali ini saya menyeberang Limpapeh. Begitulah, untuk objek wisata di kampung sendiri, kok malah malas mencicipinya. Ada orang Bandung yang nggak berminat ke Trans Studio mungkin? Ya, semacam itu deh.

Saya lalu menyeberang Limpapeh. Sendirian. Seandainya saya putus asa pada kejombloan, mungkin saya akan terjun bebas. Tapi tenang saja, Limpapeh ini sangat aman. Apalagi sebenarnya jarak yang ditempuh nggak jauh. Wong, Cuma selebar jalanan biasa. Kalau beruntung, di kiri kanan akan tampak pemandangan gunung nan kece.

PicMonkey Collage3

Ya udah, masuklah saya ke Kinantan. Dan namanya juga kebon binatang, ya tentu saja saya melihat adanya binatang disana. Beberapa spesies memang nggak tampak semisal lintah darat, buaya darat, dan sejenisnya. Mungkin sudah kebanyakan kali ya. Jeprat-jepret deh disana. Lumayan dekat juga dengan beberapa hewan, dan lumayan paham juga bahwa hidup dalam kandang itu nggak selalu enak, tapi nggak selalu suram. Yah, namanya juga hidup.

PicMonkey Collage2

Petualangan singkat ini kemudian saya sudahi karena ada panggilan dari bos rumah untuk delivery roti. Yeah! Mumpung si anak mbarep lagi di rumah dan kelihatan nggak ada kerjaan, Emak saya dengan semena-mena menelepon saya dan meminta saya mengirimkan beberapa potong roti, minus beberapa potong ikan. Padahal saya sih paham modusnya, karena itu hanya untuk memamerkan anaknya yang lagi pulang. Maklum, selama ini kedua orangtua saya semacam pasangan bulan madu gegara punya anak empat tapi nggak ada satupun yang di depan mata.

Jadilah saya berkeliaran kembali di SD tempat saya tumbuh besar, selama 6 tahun. Hey! Itu bahkan melebihi seperlima hidup saya, lho. Dan tentu saja, semuanya sudah berbeda. Lapangan-lapangan yang dulu ada, kini menjelma menjadi kelas. Lapangan-lapangan itu padahal adalah saksi bisu bahwa saya dulu selalu kalahan dalam kompetisi apapun, termasuk di dalamnya kejar-kejaran, cak sinan (gobak sodor), hingga sekadar main lore dan kelereng. Lapangan-lapangan itu juga jadi saksi bahwa saya dulu sempat jadi petugas upacara, sebagai ajudan. Iya, bawain naskah Pancasila yang saya juga yakin kalau si guru pembina upacara juga hafal isi teksnya. Sebuah posisi yang sejatinya sia-sia.

IMG_4124

Tapi kan masa kecilnya nggak sia-sia, to? Well, saat-saat seperti inilah saya bisa mengenang itu semua dengan indah. Dan inilah sisi menjadi turis yang nggak akan kita dapatkan di tempat lain, sisi sentimentil melankolis berwisata, sekaligus mengenang.

Melihat-Lihat Cibadak Culinary Night (CCN)

Terima kasih kepada Pak Ridwan Kamil dan upayanya untuk meningkatkan Index of Happiness dari warga Bandung. Dan salah satunya adalah memperbanyak jumlah event yang berbau happy-happy. Nah, salah satunya adalah Cibadak Culinary Night alias CCN. Ya begitulah, belakangan saya–si penulis Oom Alfa–memang jadi sering ke Bandung dan mulai lebih akrab dengan Primajasa alih-alih Mayasari, makanya bisa ikut-ikutan proyek Pak Ridwan untuk happy-happy.

Sesudah mencicipi Braga Culinary Night (BCN) yang kisahnya bisa dibaca secara lengkap disini, tentu saja saya penasaran dengan tipe serupa yang mestinya berbeda. Lha kok gitu? Sejauh saya dengar, Cibadak adalah salah satu area Pecinan di Bandung. Jadi, mestinya saya bisa memperoleh varian kuliner yang berbeda dengan yang saya temui di Braga sebelumnya. Dan baru ngeh juga, ternyata di tanggal 22 Februari silam, di Bandung ada 2 event yang sama-sama Culinary Night. Cikarang? Tetap setiap dengan Taman-Seribu-Janji-Culinary-Night-Yang-Bikin-Macet-Tiada-Tara.

IMG_4487

Nah, berbekal ekspektasi yang kadung tinggi gegara puas dengan BCN, maka berangkatlah saya ke Cibadak. Dan berhubung saya nggak akrab sama Bandung, tentu saja saya berangkat ke CCN  bareng mbak-mbak yang paham Bandung dan paham hati saya. #tsahhh

Nah, ternyata lokasi bernama Jalan Cibadak ini nggak cuma 1. Ada dua, dan dipisahkan oleh Jalan Astana Anyar. Kebetulan, saya masuknya lewat Jalan Otto Iskandar Dinata, jadi semakin remponglah keadaan. Untungnya pada saat saya datang, keadaan belum terlalu macet, jadi kebablasan sedikit belum menjadi sebuah masalah.

Di Jalan Cibadak yang saya masuki, kiri-kanannya sudah penuh dengan penjual makanan dan sesuai identitas Pecinan, saya langsung mendapati menu-menu yang nggak biasa. Yah, kira-kira mungkin bisa disamakan dengan daerah Dempo di Palembang. Sebagian menu menggunakan bahan makanan yang tidak acceptable untuk semua golongan. Pengen mampir, sih. Tapi mengingat tujuan utamanya adalah CCN, maka saya melajukan kendaraan ke arah merah-merah di ujung sana. Dan benar saja, itulah CCN!

Untitled

Ketika masuk dan mendekati lokasi, saya diarahkan oleh tukang parkir ke sebuah gang. Gang itu difungsikan sebagai lokasi parkir. Dan yang agak bikin melongo adalah semua petugas berbahasa Sunda. Manusia macam saya mana paham. Untunglah partner perjalanan saya sejak lahir ada di Bandung, jadi melongo saya bisa ditutupi.

IMG_4472

Lampion begitu semarak di sepanjang jalan, ditunjang ucapan ‘Selamat Datang’ yang tidak saya temui di BCN. Hmmm, bisa jadi bakal lebih keren, nih. Apalagi sayup-sayup terdengar ada pertunjukan Barongsai di bagian tengah CCN. Jadi segera pengen melahap jajanan yang tersedia. Apalagi dari sisi space CCN ini lebih oke dibandingkan BCN. Soalnya di BCN kan makanannya di tengah, pengunjung kiri kanan, kalau di CCN makanan ada di kiri kanan, satu jalan itu buat penikmat kuliner.

Sayangnya ekspektasi tinggi adalah tahapan tercepat untuk patah hati. Persis ketika saya memasuki arena CCN dengan lampion merah nan kece badai ini, saya justru menemukan sushi yang sama persis dengan yang saya makan di BCN kemaren.

Lha kok podho wae?

IMG_4475

Semakin berjalan menyusuri CCN, saya semakin tenggelam oleh ekspektasi yang ketinggian itu tadi. Ternyata keluhan saya soal BCN yang kebanyakan sosis, terjadi juga di tempat ini. Bahkan sebagian ya sama dengan yang saya lihat di BCN waktu itu. Ya memang sih sosis masih tergolong kuliner, cuma buat saya agak bikin harapan terganggu. Apalagi ditunjang fakta bahwa saya tidak menemukan ongol-ongol di CCN ini. Sempurnalah patah hati saya pada CCN. #inikrusial

Eh, tapi ya sudahlah. Sejenak saya menikmati pertunjukan Barongsai yang digelar di depan sebuah salon berjudul ‘Cantik’. Segera sesudah itu, saya cabut hendak kembali ke Cibadak sisi yang tadi.

IMG_4481

Nah, sesudah memutar balik dengan puyeng dalam gang hanya dengan petunjuk, “kadieu…“, akhirnya saya berhasil sampai di Astana Anyar dan segera mencari cara untuk bisa sampai kembali ke Cibadak yang tadi. Soalnya, jalanan ini kan terbilang satu arah semua. Maka dalam semalam, saya sudah lewat Pasar Baru dua kali. Saya keren, tuips!

Ternyata, sesudah didatangi lagi, Cibadak sisi yang awal ini sudah jauh lebih ramai. Saya lantas parkir ngasal di depan sebuah restoran, terus jalan kaki menuju tempat yang direkomendasikan oleh mbak-mbak ini. Oya, seperti sudah saya bilang tadi, disini tidak semua makanan acceptable alias tidak semuanya halal. Termasuk dengan nasi campur super antre yang saya datangi, dengan nomor antrean 29. Sudahlah nomor 29, ternyata orang yang duduk di depan saya belum mendapatkan pesanannya yang adalah nomor…

…17.

IMG_20140315_193546

Mak! 12 pesanan lagi? Kalau 1 pesanan 4 piring, berarti bakal ada 48 piring lagi baru saya dapat? Keburu kenyang harapan deh. Tapi namanya kadung duduk, ya sudahlah, mari ditunggu saja makanan itu. Ehm, ternyata porsinya ya lumayan juga untuk sebuah pesanan bernilai “setengah”. Ini semacam setengah nasi, setengah topping. Melihatnya saja sudah bikin kenyang. Nasi campur yang benar-benar campur-campur.

IMG_20140315_195228

Makan disini nggak bisa dinikmati banget, soalnya orang-orang sudah melirik kursi kita dengan tajam. Mereka juga butuh kursi itu untuk menikmati si nasi campur. Benar-benar seperti Pemilu, rebutan kursi. Bedanya yang ini kursinya nggak empuk.

Puas di nasi campur, saya lalu lari ke penjual martabak di sebelahnya. Saya baru tahu kalau martabak Bandung itu porsi aslinya minta ampun. Pantas saja harganya berkisar 40-60 ribuan, soalnya dari sisi ukuran memang besar minta ampun, dua kali lipat yang pernah saya temui di aneka kota. Biasanya yang gede itu Bangkok–ayam Bangkok, duren Bangkok, dll–lah ini kok yang gede malah pakai embel-embel Bandung?

IMG_20140315_200824

Cuma pasti keren, tuh. Demand-nya tetap ada meskipun harganya sebenarnya nggak bisa dibilang bersahabat. Begitulah Bandung, edisi kulinernya memang begitu luar biasa.

Plus ternyata pengarah gaya saya ke Cibadak ini mengajak mampir ke wedang ronde! Panas-panas bulat tepung isi kacang itu benar-benar menambah volume perut dan memang sih rasanya enak. Sudahlah Bandung di malam hari itu dingin, minum anget, tambah suasana juga hangat. Komplit habis!

IMG_20140315_203225

Begitulah. Niat suci mulia hendak mencicipi CCN justru terkendala kekecewaan karena ekspektasi yang terlalu tinggi. Eh, ternyata, di Cibadak juga sebenarnya sudah ada ‘Culinary Night’ yang lain, yang tak kalah ramai dan tak kalah macetnya. Jadi mikir, kenapa juga dibikin CCN kalau begitu? Bukankah lebih baik mengembangkan yang di Braga saja–toh banyak tenant yang sama? Justru kalau mau, si Cibadak yang sudah ada sekarang ini yang digarap menjadi lebih maksimal. Ya, sekadar ide doang sih. Saya sih intinya tetap kenyang jika bertualang di Bandung.

Oke deh. Sekian saja laporan saya tentang malam kuliner di Cibadak. Terserah, mau pilih yang acceptable atau tidak, ternyata semua ada di Cibadak sini. Salam nasi campur!